Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Thursday, January 19, 2012

Hukum Indonesia dan Sakramen Tobat dalam Gereja Katolik Roma

Si Jakobus (nama samaran), pemuda tanggung, baru saja mencuri uang milik tetangga. Tak berapa lama, ada penyesalan dalam dirinya. Kemudian si Jakobus mengaku dosa kepada Romo di Parokinya tentang pencurian yang telah dia lakukan. Pulang dari Gereja, si Jakobus ditangkap oleh Polisi. Karena saksi masih kurang, Polisi memanggil si Romo tersebut untuk dimintai keterangan tentang pencurian yang dilakukan oleh Jakobus. Bolehkah si Romo bersaksi??? Kalau si Romo menolak untuk bersaksi, salahkah menurut Hukum Pidana Indonesia???

Walaupun saya tidak pernah melihat/menyaksikan orang lain mengakukan dosanya di hadapan Romo, tidak berlebihan apabila kita menyimpulkan bahwa di dalam kamar pengakuan dosa, begitu banyak hal-hal yang tidak terduga yang disampaikan oleh seorang peniten. Mulai dari hal-hal yang lucu, lugu, gemesin sering tertumpah di kamar pengakuan. Tidak jarang juga, ada hal-hal yang menurut kita sangat menghebohkan, mengejutkan dan memuakkan. Kalau kita lihat di pilem2 hollywood, adegan mengaku dosa termasuk adegan yang lumayan menegangkan. Sering kita menyaksikan, seorang penjahat mengakukan dosa dan perbuatannya di hadapan Romo di dalam kamar pengakuan. Secara naluri, kita tahu bahwa seorang Romo tidak akan pernah mau menceritakan hal-hal yang kita ceritakan kepada orang lain. Dan ternyata, Hukum Kanonik kita pun mengatur demikian.


Undang-Undang di Indonesia mengakui dan menghormati sifat kerahasiaan dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Dan karenanya, siapapun dapat mengakukan dosanya kepada Imam, termasuk dosa2 yang melanggar hukum negara tanpa perlu takut dosa2nya itu akan dibocorkan oleh sang imam yang terikat seal sumpah kepada Tahta Suci dengan hukuman terberat: Ekskomunikasi yang mengeluarkan imam tersebut dari dalam kesatuan Tubuh Gereja katolik (Ingat Dogma kebal-salah EENS, Extra Ecclesiam Nulla Salus = Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan). Christ on the Cross Rood

Dari Kitab Hukum Kanonik:# 1388
  1. Bapa pengakuan, yang secara langsung melanggar rahasia sakramental, terkena Ekskomunikasi Latae Sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik; sedangkan yang melanggarnya hanya secara tidak langsung, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana.
Kitab Hukum Kanonik # 983
  1. Rahasia sakramental tidak dapat diganggu gugat; karena itu sama sekali tidak dibenarkan bahwa bapa pengakuan dengan kata-kata atau dengan suatu cara lain serta atas dasar apapun mengkhianati peniten sekecil apapun.
  2. Terikat kewajiban menyimpan rahasia itu juga penerjemah, jika ada, serta semua orang lain yang dengan cara apapun memperoleh pengetahuan mengenai dosa-dosa dari pengakuan.
Namun apa yang terjadi bila suatu ketika, si penjahat tersebut tertangkap, namun saksi atas kejahatan tersebut tidak cukup, sehingga kurang bukti untuk membuktikan kesalahan dari si penjahat. Apakah Romo (Bapa Pengakuan) tersebut boleh menceritakan hal-hal yang telah diberikan oleh si penjahat saat kamar pengakuan dosa kepada Polisi atau Jaksa atau Hakim? Apakah Romo (Bapa Pengakuan) menurut undang-undang memiliki kewajiban untuk memberi kesaksian tentang hal tersebut?
Dengan segala keterbatasan, dan mencoba untuk mengkaji bentuk perlindungan dari sakramen tobat dengan menelusuri beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tahukah anda bahwa Hukum Indonesia melindungi, mengakui dan menghormati salah satu sakramen dalam Gereja Katolik Roma? Pengakuan dan penghormatan terhadap salah satu sakramen tersebut termanifestasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Sebelum Hakim memutuskan seorang (atau lebih) terdakwa bersalah atau tidak, dan selanjutnya menghukum atau membebaskan terdakwa tersebut, harus ada proses persidangan yang harus dilewati, yang mana di dalam proses persidangan tersebut, Hakim akan mendengarkan keterangan dari para saksi, ahli maupun terdakwa sendiri serta menilai alat-alat bukti lain. Dari keterangan saksi-saksi dan alat bukti ini lah, Hakim mendapatkan keyakinan tentang bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Namun, tidak semua orang bisa didengar keterangannya sebagai saksi. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang adalah peraturan yang mengatur proses beracara dalam peradilan pidana di Indonesia mengatur pengecualian tersebut.

Pasal 168 KUHAP:
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
  2. Saudara dan terdakwa atau yang bersama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga
  3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Jadi, orang-orang yang disebutkan di atas, menurut KUHAP tidak dapat didengar kesaksiannya di depan persidangan. Namun KUHAP juga mengatur pengecualian lain, selain yang sudah disebutkan di pasal 168 KUHAP tersebut.

Pasal 170 KUHAP:
  1.  Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
  2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang disebutkan di dalam Pasal 170 KUHAP tersebut? Dalam beberapa tulisan Ahli Hukum, disebutkan bahwa yagn dimaksud dengan ’orang yang karena pekerjaan atau jabatannya’ antara lain adalah mereka-mereka yang berprofesi sebagai dokter, notaris, pengacara dan beberapa pejabat lainnya yang oleh undang-undang maupun oleh kode etik nya mengharuskan untuk menjaga kerahasiaan. Sedangkan yang dimaksud dengan ’karena harkat martabatnya dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi’ adalah seorang Imam dari Gereja Katolik Roma. Hanya Imam saja yang dimaksudkan dalam prase ‘harkat martabat’, tersebut, sedangkan pemuka agama atau rohaniawan lain atau apapun istilahnya di agama lain itu, tidak termasuk dalam prase pasal tersebut.

Dalam ketentuan perundang-undang yang terkini dan msih berlaku, hal tersebut diatur secara jelas pada UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koprupsi.
Pasal 36
  • Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Pada penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia.

Jadi, andaikan orang yang baru saja mencuri, kemudian mengaku kepada seorang ustadz, dan ustadz tersebut bersumpah tidak akan memberitahukannya kepada siapapun, lalu si ustadz tersebut dipanggil untuk bersaksi atas kasus pencuria si Memed, maka si ustadz tersebut tidak bisa berlindung untuk tidak bersaksi dengan menggunakan Pasal 170 KUHAP tersebut. Demikian juga halnya dengan pendeta -entah itu dari gereja mana-, mau tidak mau, suka tidak suka, berjanji atau tidak berjanji untuk tidak membocorkan rahasia tersebut, wajib hukumnya untuk memberi kesaksian di depan persidangan tentang hal-hal yang telah diceritakan oleh si pelaku kejahatan tersebut. Bagaimana dengan gereja ortodox???  tidak diketahui, apakah mereka mempunyai Sakramen Tobat. Andaipun ada, maka ketentuan ini tidak berlaku untuk mereka. Ketentuan ini hanya untuk Gereja Katolik Roma. Sebab di Indonesia, yang disebut dengan Katolik hanya Katolik Roma, sedangkan ortodox bukanlah katolik. Gereja ortodox, oleh Departeman Agama dimasukkan dalam kelompok gereja protestan.

Ketentuan tentang tidak bolehnya seorang bapa pengakuan untuk bersaksi dipersidangan ternyata sudah diatur sebelumnya oleh ketentuan yang lebih lama/tua yang merupakan peninggalan kompeni Belanda, yaitu
Pasal 146 HIR (Hetherziene Indonesisch Reglement):
Orang yang boleh minta undur diri daripada memberi penyaksian, yaitu:
  1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak.
  2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara lakilaki dan perempuan dari laki atau istri salah satu pihak.
  3. Sekalian orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu saja.
  4. Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar atau tidaknya keterangan orang, bahwa ia diwajibkan akan menyimpan rahasia itu.
Catatan:
  • HIR atau Hetherziene Indonesisch Reglement adalah ketentuan perundang-undangan tentang Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. HIR ini adalah produk kompeni Belanda, yang bernah berlaku di Indonesia hingga tahun 1981, yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi, dan diganti dengan KUHAP hingga sekarang.
HIR itu pun sempat diperbaharui dan diganti namanya dengan RIB (Reglement Indonesia Baru), namun ketentuan tentang hak mengundurkan diri sebagai saksi bagi Bapa Pengakuan tetap diatur.

Pasal 277 RIB:
  1. Orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta dibebaskan daripada memberi penyaksian; akan tetapi hanya tentang hal itu saja, yang diberitahukan kepadanya karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya itu.
  2. Pengadilan negerilah yang akan menimbang sah tidaknya segala sebab untuk minta kebebasan itu, atau jika orang yang dipanggil untuk memberi penyaksian itu orang Eropa, maka ketua pengadilan negeri yang akan menimbang hal itu.
Walaupun Hakim tetap penjadi penentu sah atau tidaknya seorang Romo untuk menggunakan hak mengundurkan diri sebagai saksi tersebut, namun dalam praktek, sependek yang penulis ketahui, di Indonesia, belum pernah ada seorang Romo Gereja Katolik Roma yang dihadapkan dipersidangan dan memberikan kesaksian tentang hal-hal yang dia dapat di dalam kamar pengakuan dosa.

Namun perlu diingat, ketentuan-ketentuan di atas hanya berlaku menyangkut keterangan yang didapat di kamar pengakuan dosa saja. Kalau Romo tersebut melihat sendiri kejadian, atau menjadi korban kejahatan, atau mungkin Romo tersebut mendapatkan keterangan tentang kejahatan dari pelaku bukan di kamar pengakuan, maka Romo tersebut wajib hukumnya –menurut hukum acara pidana- untuk bersaksi di depan persidangan. Dan sepertinya dalam Hukum Kanonik Gereja Katolik juga tidak mengatur kewajiban untuk tetap menjaga kerahasiaan tersebut.

Sumber :


No comments:

 

Image Widget

Free Dog Run Cursors at 
www.totallyfreecursors.com
 
Blogger Templates