Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sunday, September 26, 2010

Cerita tentang Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.

Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit.

Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal - hal kecil dalam rumah tangga. Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ayah mendengarkan segala keluhan saya dan setelah itu, beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.

Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas. Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca Dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupaka catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya."

"Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia."

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu."

Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan.

Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan saya tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati saya penuh dengan amarah waktu menulis, kertasnya sobek akibat tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, "Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"

Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala di malam hari,menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha. ha. ha."

Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari suatu pernikahan :

"Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."

"Try not to become a man of success,

but try to become a man of value...."


“Cinta dimulai ketika seseorang menemukan
bahwa kebutuhan orang lain sama pentingnya
dengan kebutuhannya sendiri.” (Harry Stack Sullivan)



Thursday, September 16, 2010

" I am the Best"


Aku tidak bisa lagi berkata-kata saat berada di atas mimbar, ya...mimbar di dalam kapel itu menjadi saksi. Apa yang sudah aku rencanakan dan ingin aku sampaikan tiba-tiba saja hilang begitu saja. Mata ini sudah berkaca-kaca ketika aku pandangi satu persatu orang -orang disekitar kapel itu. Hanya satu kata yang terucap, "Terima kasih, dan semoga kita semua lulus dan sukses". Entah apa maksud dari kata-kataku itu. yang jelas, rasa bangga, haru dan tidak ingin berpisah meluap begitu saja. Apalagi, diantara mereka menghampiriku dan mengatakan "Mas, selamat...anda menjadi yang terbaik, lanjutkan dan selamat berkarya". Bagiku, inilah saatnya untuk ambil bagian dari perutusan yang tidak akan dengan panji-panji "I AM THE BEST"

Bandungan - Gedongsongo, bisa dikatakan menjadi tempat kawah candradimuka bagi kami sekumpulan anak-anak muda yang haus akan pergaulan rohani. Penggemblengan rohani benar-benar kami rasakan, mulia dari bangun pagi, ibadat, makan, dan aktifitas yang lain sampai "Silentcium Magnum", di dalam keheningan kita mengharapkan kehadiran Tuhan. Semua dilaksanakan dengan penuh keteraturan dan sanksi - sanksi yang tegas. Ajang perdebatanpun tidak bisa dielakkan lagi, walaupun harus sampai larut malam yang penting " I AM THE BEST"

6 orang dalam 1 kelompok, berjalan naik ke candi gedung songo dengan kaki terikat satu sama lain tanpa bekal apapun di tengah malam, hanya baju yang melekat dan terang bulan yang menerangi. tidak ada keluh kesah diantara kami, semangat untuk saling berbagi dalam penderitaan seolah-olah muncul dengan begitu saja ketika mencoba 'merefleksikan' kisah sengsara YESUS. penghiburan itu hanyalah alunan doa-doa syahadat yang mengiringi setiap langkah kami. Dipagi harinya kami dibangunkan pagi-pagi dan melanjutkan perjalanan dengan suasana hening, tidak ada pembicaraan satu sama lain. Semua merasakan apa yang menjadi tujuan mereka masing-masing dengan udara dingin yang 'menusuk' hingga ketulang-tulang badan.

Bagaimana seseorang dapat merasakan hidup miskin jika tidak ambil bagian dalam kemiskinan itu sendiri. Jadi, semua merasakan dalam diKegelapan, kedinginan, ketidak nyamanan, bahkan kelaparan. karena satu kelompok hanya berbakal 1 gelas cup air minum dalam perjalanannya, tidurpun didalam tenda kecil dengan selembar tikar dan untuk menghangatkan badan, harus jongkok berhimpit-himpitan (karena tikar sudah basah kerana tanah yang lembab)

Itulah sepenggal kisah 15 tahun yang lalu. entah dimana mereka saat ini yang pernah tergabung dalam 'KADERISASi GEREJA BASIS'. semoga saja masih ada waktu untuk berbagi dan berkarya, karena kami 'I AM THE BEST'

Wednesday, July 7, 2010

(Let Me Go to the Father’s House)


Siapa yang tidak mengenal Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II. Hampir seluruh dunia
mengenal beliau, tetapi tidak banyak yang kita ketahui apa yang sebenarnya yang terjadi
setelah terjadi penembakan terhadap Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 13 Mei 1981
dilapangan Santo Petrus, Vatikan dalam suatu audiensi. Dalam buku ini, "IJinkan Aku Pulang
ke Rumah Bapa" (Let Me Go to the Father’s House)diceritakan ketika Paus Yohanes Paulus II 
pergi meninggalkan dunia, oleh Kardinal Stanislaw Dziwisz (teman dan sekretaris pribadi Paus 
selama 27 tahun) dan Pastor Czeslaw Drazek, SJ (Penerbit, L’Osservatore Romano edisi 
Polandia ),Dokter Renato Buzzonetti (dokter pribadi Paus Yohanes Paulus II) dari sisi medis, 
serta Uskup Agung Angelo Comastri (Presiden Fabbrica de San Pietro dan Vikaris Jenderal 
Vatikan dibawah Yohanes Paulus II). Rupanya Karol Wojtyla (nama kecil Paus Yohanes Paulus 
II) begitu akrab dengan penderitaan yang telah dialaminya sejak kanak-kanak hingga masa 
mudanya dengan meninggalnya ibu, suadara dan ayah beliau.

Didalam buku ini kita diajak mengenang kembali kala Paus Yohanes Paulus II mengalami
penderitaan dalam sakitnya yang dimulai terjadinya penembakan terhadap Paus Yohanes paulus II pada Tanggal 13 Mei 1981 oleh Ali Agca.  Menurut Uskup Agung Dziwisz, Paus Yohanes Paulus II masa itu berada "dalam sanggar derita dan harapan" dimana beliau mendapat pengalaman yang paling dalam atas kedekatan beliau dengan para penderita. Serta Jalan Salib Bapa Suci secara diam-diam dijalaninya hingga puncaknya pada tanggal 2 April 2005. Kesaksian oleh sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II dan kesaksial dokter pribadi Bapa Suci sejak tahun 1978 melengkapi dalam buku ini mengenang masa - masa keberadaan Bapa Suci di "Vatikan III" sampai pergi meninggalkan dunia.

Namun mungkinkah membuat kerangka dasar untuk pengudusan Yohanes Paulus II?, hanya
Gereja sendirilah yang berhak menentukannya. Dengan memerhatikan semua tindakan dan gerak- gerik Yohanes Paulus II, dengan merenungkan pidato-pidato dan dokumen yang ditulisnya, orang akan menyadari bagaimana sikap perasaan Yohanes Paulus II kepada Maria yang merupakan sumber inspirasi yang mewarnai peziarahannya mengikuti jejak Yesus. kemudian, waktu beliau pergi ke Fatima, mempersembahkan peluru berbahaya yang gagal membunuh diri beliau, kepada Maria (peluru itu kemudian ditempatkan pada mahkota patung Bunda Maria dari Fatima, oleh Uskup Leiria-Fatima); hal ini juga menjelaskan mengapa beliau terus-menerus melakukan ziarah ke tempat-tempat suci Maria. Demikian juga Menurut penafsiran “para gembala kecil” yang juga diteguhkan oleh Suster Lusia (salah seorang gadis kecil yang mengalami penampakan Bunda Maria di Lourdes), “Uskup berjubah putih” yang dalam visi itu berdoa untuk kaum beriman adalah Paus (Yohanes Paulus II). Ketika ia berusaha keras berjalan menuju salib di tengah mayat-mayat martir (para skup,imam, biarawan- biarawati, dan banyak awam), ia juga jatuh ke tanah, tampaknya mati karena ditembak.

 Berikut ini adalah teks pernyataan yang diterbitkan oleh Kongregasi Penggelaran
Kudus, yang ditanda tangani oleh Kardinal Jose Saraiva Martins dan oleh sekretaris Konggregasi, Yang Mulia Uskup Agung Edward Nowak: 
“Atas permintaan Yang Terhormat dan Yang Mulia Kardinal Camillo Ruini, Vikaris Jenderal
Yang Mulia Uskup Keuskupan Roma, Paus Benediktus XVI, setelah mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus yang dijelaskan oleh Kardinal Vikaris selama audiensi dengan beliau pada tanggal 28 bulan April tahun 2005, diberikan dispensasi dari masa tunggu lima tahun setelah wafatnya Hamba Tuhan Yohanes Paulus II, sehingga proses pemberian gelar orang kudus dapat dimulai dengan segera. Diberikan di Roma, dari kantor Kongregasi Penggelaran Kudus, 9 Mei 2005.”

Dan inilah beberapa hal yang saya catat dalam buku ini.
1. Paus Yohanes Paulus II wafat, beralih "dari hidup yang satu pada hidup yang baru" pada
    hari pertama yang dipersembahkan kepada Bunda Maria ( 2 April 2005, merupakan sabtu           pertama dalam bulan dan dalam pesta liturgi Kerahiman Ilahi." Peralihan menuju keabadian,       yang dipandang sebagai partisipasi segenap keluarga manusia, merupakan ajaran terakhir dari     Paus Yohanes Paulus II.
2. Dalam bukunya yang terakhir "Memory and Identity", Paus Yohanes Paulus II mewariskan
    kepada kita tafsiran atas penderitaan pribadinya yang bukan merupakan teori teologi dan 
    filsafat, melainkan buah yang matang dari perjalanan pribadinya menempuh lorong 
    penderiataan, yang ditanggungnya dengan iman atas Tuhan yang Tersalib.
3. Didalam buku itu pula, Paus Yohanes Paulus II menulis "Adakah suatu batas dimana
    kekuasaan kejahatan akan berantakan?.". "Ya. Ada" jawabnya.
    Kekuatan yang membatasi kekuasaan kejahatan adalah Kerahiman Ilahi. Kekerasan yang             merupakan pameran kejahatan dalam sejarah dipertentangkan dengan Kerahiman Ilahi.               Anak  Domba lebihkuat daripada naga,  kita dapat mengatakan itu bersama dengan Kitab              Wahyu.
4. Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan bahwa saat-saat penderitan dan kematian
    harus dihayati dalam terang iman, dengan kasih dan harapan kristiani, dalam kepasrahan 
    seluruhnya pada kehendak Tuhan.
5. Masih banyak lagi ajaran-ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam buku ini, dan inilah
    warisan untuk kita :
    "Totus tuus, Maria! Sepenuhnya untukmu, Maria!" ; 
    "O Crux, ave spes unica! O Salib, satu-satunya harapan kami!"; 
    "berilah kami kesabaran dan keberanian, dan berilah damai pada dunia"
6. Marilah kita berdoa untuk beliau dalam proses pemberian gelar orang kudus.

Saturday, March 27, 2010

Tentang Seorang Pembunuh Cilik untuk Keadilan Indonesia

Percaya atau tidak,kisah ini adalah hal yang langka dan sangat menarik (=menurut saya), tetapi bagaimana dengan anda, silahkan berkomentar disini.....

Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian Kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama saya ngobrol langsung dengan seseorang yang didakwa kasus pembunuhan berencana. Dengan jantung dag dig dug, pikiran saya melayang-layang mengira-ngira gambaran orang yang akan saya temui. Sudah terbayang muka keji hanibal lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron, dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yang sering saya temui di cerita TV.

Well, akhirnya setelah menunggu sekian lama berharap-harap cemas, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapan saya.Yup, benar seorang anak berumur 8 tahun. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dengan wajah yang diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dengan gerak-gerik yang sopan.

Saya pun membaca berkas kasusnya yang diserahkan oleh sipir itu. Sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan azan di tingkat kanak-kanak. Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dalam penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?

Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun. Ayahnya yang berdagang di sebuah pasar di daerah bekasi, dihabisi kepala preman yang menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang 'keamanan' yang begitu tinggi. Berita ini rupanya sampai di telinga Arif. Malam esok harinya setelah ayahnya dikebumikan ia mendatangi tempat mangkal preman tersebut. Bermodalkan pisau dapur ia menantang orang yang membunuh ayahnya.

"siapa yang bunuh ayah saya!" teriaknya kepada orang yang ada di tempat itu.

"Gue terus kenapa?" ujar kepala preman yang membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.

Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.

"Arif nih sering bikin repot petugas di Lapas!" ujar kepala lapas yang ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu. Anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib.

Pelarian pertama dilakukannya dengan cara yang tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan.
Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dalam salah satu kantung sampah. Hasilnya 1-0 untuk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara.

Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yang doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape (ingat loh waktu wawancara usianya baru 8 tahun). Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung hawa panas yang bersifat destruktif terhadap benda keras. Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dalam seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya. Hasilnya setelah empat bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 untuk arif. Ia keluar penjara ke dua kalinya.

Pelarian ke tiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yang ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi. Besi yang berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpannya di dalam kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan untuk kabur. Ruang kepala Lapas menjadi pilihannya. Alasannya jelas, karena tidak pernah satu pun penjaga berani memeriksa ruangan ini. Ketika tengah malam ia menyelinap keluar dengan menggunakan besi pegangan ember untuk membuka pintu dan gembok. Jangan tanya saya bagaimana caranya, pokoknya tahu-tahu ia sudah di luar. 3-0 untuk Arif.

Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi? Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah. Pelarian-pelariannya didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya untuk ke rumah sang ibunda tercinta. Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dengan satu tujuan, pulang!

Karena itu pula pada pelarian Arif yang ketiga, kepala Lapas yang juga seorang ibu ini meminta anak buahnya untuk tidak segera menjemput Arif.
Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat untuk kepala Lapas yang ditulisnya sendiri.

Ibu kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif. Tulisnya singkat.

Seorang anak cerdas yang harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang. Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, polisi bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini. Dan kreativitasnya yang tinggi itu bisa berguna untuk hal yang lain. Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yang dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat. Itulah yang namanya keadilan Indonesia !


Oleh : Reza Gardino.
 

Image Widget

Free Dog Run Cursors at 
www.totallyfreecursors.com
 
Blogger Templates